Sepertinya cerpen baru yang berjudul "Seseorang yang Kutemukan dalam Hujan" ini mengisahkan sebuah kegetiran pahitnya masa lalu yang dialami oleh tokoh utamanya. Ketertarikan kepada seseorang – sepertinya – harus ditangguhkan atau ditahan bahkan dihilangkan karena pengalaman pahit trauma yang pernah dialami.
Tapi entahlah, yang jelas cerpen Inggris Indonesia kali ini jalan ceritanya singkat, hanya menceritakan dua orang yang akan pergi kesuatu tempat dan terjebak dalam hujan.
Mereka hendak bepergian namun ditengah jalan hujan turun dan mereka berbicang satu sama lain, agar lebih jelas silahkan baca cerita pendek romantis tersebut.
Bisa dikatakan, cerpen ini masuk edisi khusus karena bukan cerpen seperti biasanya. Bukan dalam hal apa-apa tetapi karya cerpen ini dibagikan dalam dua bahasa sekaligus. Siapa tahu ada rekan pelajar yang sedang belajar membuat teks cerita yang disertai terjemahan sekaligus.
Maka dari itu cerita berikut ini bisa dijadikan salah satu contoh sekaligus bisa untuk bahan bacaan saat santai. Tidak panjang kok, cerpen hujan berikut ini cukup singkat, mungkin hanya satu lembar kertas saja. Seperti apa, silahkan nikmati langsung di bawah ini.
Mereka hendak bepergian namun ditengah jalan hujan turun dan mereka berbicang satu sama lain, agar lebih jelas silahkan baca cerita pendek romantis tersebut.
Bisa dikatakan, cerpen ini masuk edisi khusus karena bukan cerpen seperti biasanya. Bukan dalam hal apa-apa tetapi karya cerpen ini dibagikan dalam dua bahasa sekaligus. Siapa tahu ada rekan pelajar yang sedang belajar membuat teks cerita yang disertai terjemahan sekaligus.
Maka dari itu cerita berikut ini bisa dijadikan salah satu contoh sekaligus bisa untuk bahan bacaan saat santai. Tidak panjang kok, cerpen hujan berikut ini cukup singkat, mungkin hanya satu lembar kertas saja. Seperti apa, silahkan nikmati langsung di bawah ini.
A. Cerpen Seseorang yang Kutemukan dalam Hujan Versi Indonesia
“Hujan sialan!” Aku merutuk kecil. Melepas jaketku dan mengibas-ngibaskannya karena basah. Mataku menangkap seseorang berdiri dengan canggung di bawah naungan atap halte bus itu. Rambut, bahu bajunya juga basah. Dia mungkin sama dengan aku, berhenti berjalan karena hujan turun tiba-tiba. Aku tak hendak berkenalan, meskipun dalam pikiranku menemukan beberapa nama seperti Sri, Ajeng, atau Galuh.
Tiba-tiba saja, ada pertanyaan yang menggoda untuk aku sampaikan padanya,”Kau juga membenci hujan?” Dia tersenyum dan mengangguk seolah mengiyakan. Hingga pertanyaan lain menggelincir begitu saja,”Kenapa?”
“Hujan memperlambat sebuah janji temu,” jawabnya cepat. Seolah hal itu adalah sebuah kesimpulan dari serangkaian cerita yang ingin dia sampaikan. Dalam pikiranku merangkai cerita sendiri. Gadis ini, entah Sri, Ajeng, atau Galuh namanya, sedang menuju sebuah tempat yang telah disepakati olehnya dan teman atau kekasihnya yang jaraknya tidak jauh dari sini sehingga dia berjalan kaki dan terpaksa dia hentikan karena hujan tiba-tiba datang.
“Sepertinya hujan akan membatalkan sebuah cerita.” Aku seperti dipaksa untuk bercerita karena jawabannya yang pendek tadi. Lalu aku mengatakan bahwa seharusnya malam ini aku berada di suatu perhelatan sastra di mana aku akan menjadi moderator dalam diskusi buku kumpulan cerpen berjudul “Gerimis Anjing.”
“Gerimis Anjing?” Tanyanya dengan alis terangkat. Pastinya dia terkejut dengan judul buku kumpulan cerpen itu tadi.
“Ya. Gerimis Anjing. Sebuah buku kumpulan cerpen karya seseorang yang tidak perlu disebut-sebut. Karena dia tidaklah setenar Kurnia Effendi atau Triyanto Triwikromo, penulis-penulis cerpen yang karyanya bisa dengan mudah kita temukan setiap minggu di surat kabar.”
Dia hanya tersenyum. Aku tahu dari ekspresinya, dia tidak tahu apa yang kubicarakan.
“Maaf, aku terlalu banyak mengoceh.”
“Tak apa.” Lagi-lagi jawabnya lebih singkat dari gemuruh di langit setelah kilat menyambar.
Aku mengeluarkan telepon genggam dari saku celana.
“Tak baik menelepon saat hujan lebat,” katanya mencegah. Sepertinya dia tahu apa yang akan aku lakukan.
“Kenapa?”
“Telepon genggam memancarkan gelombang elektromagnetik yang bisa menarik energi lainnya seperti listrik. Bisa-bisa kamu tersambar petir, nanti.”
“Itu ilmiah? Bisa dipertanggungjawabkan?” Tanyaku sambil memasukkan kembali telepon genggamku dengan ragu ke saku celana. “Bagaimana dengan mengirim pesan pendek? Apakah bisa tersambar petir juga?”
Dia mengangkat bahu. Aku rasa dia tidak paham juga dengan apa yang barusan diucapkannya kepadaku. Atau informasi yang dia terima masih sepotong-sepotong.
“Aku ingin memberitahukan bahwa aku tidak bisa datang tepat waktu,” kataku.
Dia menunjuk sebuah taksi yang kelihatan melaju di kejauhan. “Kau bisa naik taksi.”
“Lalu bagaimana dengan kamu?” Tanyaku.
“Aku akan menunggu hujan reda saja. Tempat janji temuku tak jauh dari sini.”
Aku terdiam. Menghitung dalam hati berapa sisa uang di dompetku. Apakah uang itu cukup untuk ongkos taksi menuju tempat perhelatan sastra di daerah Bulungan itu atau tidak. Sebenarnya aku berniat untuk jalan kaki ke arah perempatan lalu dari sana aku akan naik metromini ke arah Bulungan. Cukup dengan uang dua ribu rupiah. Kalau aku memutuskan naik taksi, bisa keluar ongkos tak kurang dari dua puluh ribu. Apalagi hujan begini, jalanan pasti macet.
“Ah. Aku rasa telat sedikit tak mengapa.”
“Apakah aku harus merasa keberatan dengan hal itu?” Tanyanya.
Ya. Halte ini tempat siapa saja menunggu angkutan umum. Siapa saja bisa bernaung menghindari hujan di sini. Termasuk aku, dan Sri, atau Ajeng, atau Galuh ini. Entahlah siapa namanya. Aku tak hendak berkenalan dengannya. Bukan lantaran menurutku dia tidak cantik atau terlalu kurus, atau karena apa pun. Aku memang tidak sedang ingin berkenalan dengan seseorang. Siapapun dia.
“Apakah kau juga membenci hujan?” Dia tiba-tiba menanyakan yang tadi kutanyakan kepadanya.
Aku berusaha mengingat dengan baik larik-larik sajak Sapardi, atau siapa saja tentang hujan. Tapi tak ada yang kuingat selain sebuah peristiwa tentang seseorang yang menangis. Dengan seorang bayi yang diselimuti dan didekap erat, dia menenteng sebuah koper besar. Tepatnya menyeret koper itu. Sebuah rumah besar berwarna putih terlihat terang ketika petir menyambar. Suara seorang pria berkumis bercampur dengan bunyi guruh. Entah apa yang dia katakan. Tapi yang jelas membuat perempuan dengan bayi di gendongannya itu semakin deras airmatanya.
Rasanya sejak itu, aku membenci apapun yang berkaitan dengan hujan. Termasuk seseorang yang kutemukan dalam hujan. Seperti Sri, Ajeng, atau Galuh yang sedang menunggu hujan reda di dalam halte bus ini.
Tiba-tiba kulihat awan gelap seperti menyisih. Hujan berubah jadi gerimis yang tidak kencang. Segerombolan burung terbang dari pepohonan. Aku memakai kembali jaketku.
“Hujan hampir reda. Aku pergi dulu ya.” Kataku dengan nada yang kuinginkan keluar dari bibirku begitu sopan. Seperti seorang anak pamit bermain kepada ibunya.
B. Cerpen Seseorang yang Kutemukan dalam Hujan Versi Inggris
"Rain, damn it ! 'I curse small . Took off my jacket and shook it back and forth because of the wet . My eyes catch someone standing awkwardly in the shade of the roof of the bus stop . Hair, clothes too wet shoulder . He may be the same with me , stopped running because it was raining suddenly . I do not want to get acquainted , though in my mind finding a few names such as Sri , Maya , or Galuh.
Suddenly , there are tantalizing questions for me to say to him , "You also hate the rain ? " He smiled and nodded as if in agreement. Until another question just slipped , "Why ? "
"The rain slows an appointment , " she answered quickly . As if it is a conclusion of a series of stories she wanted to . In my mind the dots themselves . This girl , whether Sri , Maya , or Galuh its name , is heading a place that has been agreed upon by him and a friend or lover that were located not far from here so he walked away and he was forced to stop because of the rain suddenly came .
"It looks like rain will cancel a story . " I like being forced to tell because the short answer earlier . Then I say that tonight I should be in a literary event where I will be moderating a discussion of the book collection entitled " Dog drizzle . "
"Drizzle Dog ? " He asked with a raised eyebrow . Surely he was surprised by the title of the book collection that was.
"Yes . Drizzle Dog . A book collection of the work of someone who does not need to be mentioned . Because he is not as famous or Triyanto Triwikromo Kurnia Effendi , short story writers whose work can easily be found every week in the newspaper . "
He just smiled . I knew from his expression , he did not know what I'm talking about .
"Sorry , I ramble too much . "
"That's all right . " Again, the answer is shorter than the rumble in the sky after a bolt of lightning .
I took out a cell phone out of his pocket .
"Not a good call during heavy rains , " he said prevented . Looks like he knows what I'm doing .
"Why ? "
"Mobile phones emit electromagnetic waves that can draw energy such as electricity . You could have a lightning strike , later . "
" It was scientific ? Could be accounted for ? ' I asked as I re-enter my cell phone pockets doubtfully . " How to send a short message ? Can it be struck by lightning as well ? "
He shrugged . I think he did not understand well what had just spoken to me . Or the information he received was still bits and pieces .
" I want to tell you that I could not come on time , " I said .
He pointed to a cab that drove visible in the distance . "You can take a taxi . "
" And what about you ? ' I asked .
" I 'll just wait for the rain to stop . Place Temuku promise not far from here . "
I'm speechless . Calculating the heart of how the rest of the money in my wallet . Is it enough money for cab fare to the place of literature in the area of event Bulungan it or not . Actually I intend to walk toward the intersection and then from there I will rise towards Bulungan metromini . Enough with the money of two thousand dollars . If I decide to take a taxi , get out the cost of not less than twenty thousand . Moreover, this rainy , jammed the streets definitely .
" Ah . I guess why not a little late . "
" Do I have to object to it ? " He asked.
Yes. This stops anyone spot waiting for public transport . Anyone can take shelter to avoid the rain here . Including me , and Sri , or Maya , or Galuh this . I do not know what his name is . I do not want to meet him . Not because I think she is not pretty or too thin , or because of anything else . I was not in the mood to meet someone . Whoever he is .
"Do you also hate the rain ? " He suddenly asks who'd ask him .
I'm trying to remember the good verses of rhyme Sapardi , or anyone else about the rain . But nobody remembered about the incident other than a person who cries . With a baby covered and hugged tightly , she was carrying a large suitcase . Precisely dragging the suitcase . A large white house looks bright when the lightning struck . Sounds a mustachioed man mixed with the sound of thunder . Whether what he said . But clearly made a woman with a baby in her arms were getting heavy tears .
It seems since then , I hate anything related to rain . Including one that I found in the rain . Such as Sri , Maya , or Galuh who were waiting in the rain to stop in the bus stop .
Suddenly I saw the dark clouds like to opt out . The rain turned into a drizzle that is not tight . A swarm of birds flew from the trees . I put my jacket back .
Ilustrasi Cerpen "Seseorang yang Kutemukan dalam Hujan" |
"The rain almost stopped. I go for now. " I said in a tone that I want out of my lips so polite . Like a child playing goodbye to his mother.
Demikianlah tadi sebuah cerpen tentang seseorang dalam hujan. Mudah-mudahan teks dan kisah yang ada di atas bisa berkenan dan bermanfaat bagi rekan pengunjung semua. Kalah masih kurang sesuai silahkan baca juga beberapa cerita lain yang sudah disiapkan dibagian bawah.
Demikianlah tadi sebuah cerpen tentang seseorang dalam hujan. Mudah-mudahan teks dan kisah yang ada di atas bisa berkenan dan bermanfaat bagi rekan pengunjung semua. Kalah masih kurang sesuai silahkan baca juga beberapa cerita lain yang sudah disiapkan dibagian bawah.