Cerita Sedih – Guruku Lebai Guruku Malang. Banyak diantara rekan pelajar yang membutuhkan cerita drama singkat dengan berbagai tema sebagai bahan latihan pementasan. Sekedar untuk belajar, berikut kami siapkan sebuah cerita sedih – guruku lebai guruku malang.
Cerita ini dapat digunakan untuk teks drama 4 orang, teks drama 5 pemain, 6 orang pemain dan seterusnya dengan sedikit kreasi dan penyesuaian atau hanya sekedar untuk hiburan dikala senggang..
Cerita Sedih Guruku Lebai Guruku Malang
Kerudung kaus yang membalut kepala serta terjulur hingga ke dada, membuat penampilan wanita usia 30 tahun ini terlihat indah. Aura keibuan terpancar dari sosok wanita yang bernama Si Malang. Kesehariannya bekerja sebagai guru honorer di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Al-Sasakiroh, Bengal, Terpencil.
Kecintaan Si Malang terhadap anak-anak tidak membuatnya surut menjadi sang pendidik. Mengenalkan nama benda, mengenalkan huruf serta angka bahkan mengenalkan bagaimana berprilaku yang baik pada anak didik, itulah yang menjadi amanahnya sebagai seorang guru anak pra sekolah.
Dituntut kesabaran serta ketekunan untuk bisa mencetak cikal bakal pemimpin negeri ini. Pemimpin yang kelak menjadi tauladan dimasanya mendatang. Ini bukanlah pekerjaan yang mudah, butuh totalitas yang pengajar, baik dari segi waktu dan tenaga yang dimilikinya.
Sementara disatu pihak, Si Malang adalah seorang istri dari lelaki yang bekerja sebagai seorang pelukis. Dalam satu minggu, belum tentu ada yang memesan lukisan karyanya.
Untuk itu, demi keberlangsungan hidup yang standar, Si Malang mencari pekerjaan sampingan sebagai guru ngaji keliling, dari rumah satu ke rumah lainnya.
Gajinya sebagai guru honor PAUD sebesar Rp 100 ribu per bulan, tidak bisa menutupi kebutuhan pangannya sehari-hari. ”Syukurlah, ilmu mengaji yang saya punya bisa bermanfaat buat orang lain, bahkan bisa membuat dapur saya ngebul,” kata Si Malang sambil tertawa.
Gaji satu bulan pertama yang didapatnya Rp 50 ribu. Itu sudah termasuk transport pergi-pulang dan biaya sarapan pagi.
Kemudian bulan ke dua sampai 3 tahun ia mengajar, honornya mulai naik menjadi Rp 60 ribu. Tahun ke empat sampai tahun ke tujuh, Si Malang kembali menerima kenaikan honor dari yayasan sebesar Rp 150 ribu per bulan. Bahkan karena pengambdiannya, Si Malang juga ikut merasakan insentif dari pemerintah per semester Rp 600 ribu.
”Untung rumah saya tidak begitu jauh dari sekolah, sekitar 1,5 kilometer dari rumah. Jadinya kalau pulang saya sering berjalan kaki, supaya tidak boros pengeluaran,” tutur Si Malang.
Selama ia bekerja di sana, tidak cukup hanya sebagai tenaga pengajar saja. pemenuhan kebutuhan perlengkapan proses belajar mengajar, pembayaran rekening listrik serta telephone dan kebutuhan lainnya, juga menjadi tanggung jawab Si Malang seorang.
Bahkan tidak jarang, Si Malang diperlakukan seperti pembantu rumah tangga oleh rekan seniornya yang sudah berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Terkadang, ia juga harus membawa pulang pekerjaan yang belum terselesaikan di sekolah.
Lebih dari 8 jam waktunya tersita untuk sekolah yang hanya membayarnya Rp 150 ribu. Sama sekali dirinya tidak pernah komplein apalagi sampai minta kenaikan gaji yang sesuai dengan standar upah minimum regional (UMR).
Sementara di sisi lain, Si Malang juga ketika dirinya masih lajang, ia juga bagian dari tulang punggung keluarganya.
Ayah dan ibunya sudah tua bahkan sakit-sakitan, sementara ia juga masih punya dua orang adik yang harus dibantu biaya pendidikannya.
Namun demikian, Si Malang tetap bisa mengajar, melayani dan tersenyum serta bermain dengan sepenuh hati pada anak didiknya. ”Anak-anak yang membuat saya merasa melupakan dengan tumpukan pekerjan yang melelahkan,” ujar dia.
*** Selesai ***
Itulah sekelumit cerita Cerita Singkat – Guruku Lebai Guruku Malang yang tidak diperlakukan selaiknya manusia. Hidupnya begitu keras.
Namun karena kecintaannya pada dunia pendidikan, ia tetap bertahan di sana. Mungkin permasalah Si Malang hanya segelintir yang muncul dipermukaan, di belahan sana, masih ada Si Malang-Si Malang yang sama.